Searching Needles In The Hastag : Peran Buzzer Dalam Mendistorsi Opini Publik

Searching Needles In The Hastag : Peran Buzzer Dalam Mendistorsi Opini Publik

Sama layaknya di dunia nyata, dunia maya Indonesia diisi oleh keberagaman. Berbagai group penduduk kita turut meramaikan dunia maya. Tiap pemuda yang melacak pamor, tiap pasien yang melacak donor, tiap fans K-POP yang ikuti gerak-gerik idolanya, tiap artis dan orang yang melacak sensasi, tiap aktivis dan pejuang keadilan hingga tiap macam kriminal, semua tersedia di sana. 

Negara demokrasi yang memasuki fase aqil baligh ini begitu aktif berpolitik di dunia maya. Setidaknya sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012 hingga protes #ReformasiDikorupsi terkini, gejolak politik turut menggoncang media sosial. Berlaku sebaliknya, media sosial juga mampu mobilisasi proses politik nasional. Mudahnya menjangkau banyak orang di sosial media membentuk lanskap politik baru di Indonesia https://casakreatif.com/ . 

Kala itu, pasangan Jokowi Ahok mampu sukses memenangkan Pilkada DKI Jakarta melalui giatnya kampanye sosial media. Dengan pengaruh sebesar ini, media sosial jadi senjata mutakhir yang sering dipakai untuk menghimpun pundi-pundi suara. Terbukti, belakangan, kursi DKI 1 mesti Jokowi tinggalkan karena ia sukses menggapai posisi RI 1. Hingga sementara ini, Jokowi sukses tempati posisi RI 1 sebanyak dua kali bersama dengan mengfungsikan keajaiban sosial media.

Tak hanya dalam proses politik formal, yang lebih sering mengfungsikan media sosial untuk menyebarluaskan informasi dari satu episentrum ke jutaan pengguna media sosial (one-to many) keajaiban ini mampu bekerja. Ketika nada para demonstran tak didengar di jalan, kalah oleh bisingnya lalu lalang kendaraan, media sosial jadi pilihan rasional untuk menyalurkan aspirasi. Tak juga juga, begitu banyak kasus yang langsung diusut setelah gempar di dunia maya, juga ‘kasus besar’ penistaan agama oleh mantan gubernur DKI Jakarta pada 2016 silam dan ‘kasus’ pasar Muammalah di Depok pada awal 2021. Media sosial bekerja sebaliknya, ia menampung jutaan nada penduduk digital dan membuatnya lebih nyaring. Sayangnya, belakangan ini, kemampuan many-to-one selanjutnya makin lama melemah.

Mengapa demikian? Mari kita ulang ulas pemakaian senjata ini, karena fenomena dua tahun terakhir merupakan episode kelanjutan dari dua pertarungan kursi RI 1 sebelumnya. Memutar ulang ingatan kita, kedua kubu yang bertarung dalam pemilihan presiden saling serang melalui positive, negative, juga black campaign. Kuatnya pengaruh kedua group melahirkan polarisasi stereotip media sosial: cebong, pendukung Joko Widodo1 dan kadrun yang membantu Prabowo Subianto2 pada pemilihan presiden. Kedua belah pihak sama-sama mengfungsikan buzzer / pendengung untuk mengeraskan kampanye mereka. Media sosial di Indonesia, yang mestinya mampu dimanfaatkan sebagai sarana penyaluran aspirasi dieksploitasi oleh group kepentingan tertentu baik dari oposisi maupun pemerintah. Kebiasaan inilah yang mengakibatkan ramainya media sosial singgah dari group ‘tentara digital’, memanipulasi kebenaran dan mendistorsi diskursus kebijakan publik.

Hasilnya, setelah sukses menggapai kursi RI 1 kedua kalinya, pemerintahan Jokowi memberangus semua oposannya, lalu, mengfungsikan taktik perang yang sama, membentuk opini di media sosial atas kebijakan yang diterapkannya. Kekuatan ini susah dibendung, lebih-lebih ditandingi. Para pendengung yang direkrut melalui jaringan pertemanan pendukung pemerintah Jasa Buzzer

1 Yang belakangan diasosiasikan bersama dengan pendukung pemerintah.

2 Juga diasosiasikan bersama dengan pendukung Anies Baswedan. Kelompok ini belakangan lebih kental  diasosiasikan bersama dengan group ekstremis Islam dan kontra pemerintah.

merupakan pekerja, bersama dengan kata lain tentara swasta yang dibayar untuk membentengi pemerintah. Uang telah berbicara, sehingga, pasukan digital ini siap mengorbankan segalanya demi membentuk opini publik seakan-akan penduduk membantu penuh kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan, kritik pemerintah keliru total, dan mereka yang tidak sepakat merupakan group anti-Pancasila.

Revisi UU KPK menguatkan KPK. COVID-19 tidak berbahaya, dukungan sektor pariwisata merupakan kesempatan emas, dan Anies Baswedan yang risau menyatakan kebodohannya sebagai seorang ‘gabener’. Indonesia siap terima kehidupan normal baru. Otonomi tertentu di Papua memajukan dan menyejahterakan rakyat Papua. Omnibus Law Cipta Kerja merupakan terobosan pemulihan ekonomi yang brilian. Para penyidik KPK yang tidak lolos TWK terlibat bersama dengan Taliban, ISIS, HTI, atau apa pun itu group Islamis radikal yang buzzer sebutkan. Kira-kira, inilah opini yang sukses group pendengung tadi ciptakan. Berbeda bersama dengan group kepentingan tak terorganisasi dan tak dibayar yang menyuarakan sebaliknya, tagar mereka hanya mampu bertahan seketika dibandingkan tentara digital pemerintah.

Semua ini tertangkap bersama dengan begitu jernih melalui kesimpulan media sosial, mengfungsikan Big Data. Merekam semua opini pengguna Twitter dan pemberitaan digital media nasional, penelitian LP3ES menemukan bahwa group pendengung selanjutnya sukses menciptakan opini publik alternatif. Khususnya di media sosial, percakapan berkenaan kebijakan publik begitu ramai didominasi tentara digital. Jika kebohongan ini tetap didengungkan, orang dapat mempercayainya dan menjadikannya sebagai kebenaran, cocok bersama dengan kutipan pembuka dari Goebbels.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Kesehatan Mental dalam Mempersiapkan Tes Masuk Polisi dan TNI

Tips Memilih Market Place untuk Jualan Online

Membangun Keterampilan Sosial Anak melalui Game Ponsel yang Interaktif